Strategy Pemasaran (Marketing Strategy) yg berbeda bisa memberikan hasil penjualan yg berbeda. Contohnya, Rp. 3.333,- bisa sama atau menjadi Rp. 10.000,- Anda mau bukti? Ini kisah nyata saya.
Ada pengalaman menarik ketika hari Minggu, 15 Maret 2009, kemarin saya melihat-lihat Pasar Malam di Lapangan Jenderal Sudirman Ambarawa, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Ketika itu saya bersama anak dan istri tertarik untuk membeli sebuah pisau produk China di sebuah stand yg cukup ramai pengunjung. Yang membuat kami akhirnya membeli pisau serba guna tersebut adalah karena harganya yg cukup murah, yakni Rp. 10.000,- sementara harga promosi yg tertera adalah Rp. 35.000,- Ini bukan harga pada label, tetapi harga yg tertulis di kertas ukuran +/- 15 cm x 30 cm yg terletak di atas meja tempat penjual tsb melakukan demo.
Sambil memperagakan dan menjelaskan cara menggunakan pisau tsb untuk memotong dan mengiris sayuran dengan berbagai model dan hasilnya, penjual tsb juga melakukan negosiasi harga. Pertama teman saya menawar Rp. 10.000,- Si penjual mengatakan: "Ya, sudah Mas, Rp. 20.000,- nggak apa-2." Teman saya tetap bertahan dengan harga Rp. 10.000,- Dan akhirnya Si Penjual "mengalah", maka terjadilah transaksi.
Karena istri saya butuh pisau tsb dan menilai bahwa harga Rp. 10.000,- cukup murah, maka kami pun membeli satu buah. Sambil bergurau (bukti kepuasan pelanggan?): "Dapat bonus sayur ini, nggak, Mas?" saya serahkan Rp.10.000,- Si Penjual pun tersenyum. Akhirnya, banyak juga pembeli setelah saya, dan kami pun melanjutkan nonton-2 di Stand lainnya.
Ketika sampai pada Stand yg menjual peralatan rumah tangga produkChina dengan harga Rp. 10.000,- untuk tiga buah produk apapun, kami jadi kaget. Pasalnya, di sana juga ada pisau persis seperti yg baru saya beli tsb, tetapi harganya, yaitu tadi, Rp. 10.000,- bisa mendapat tiga buah produk. Artinya, pisau yang saya beli seharga Rp. 10.000,- di Stand lain tadi, di Stand ini cuma dijual dengan harga Rp. 3.333,- Kami jadi sadar bahwa pisau yang kami beli tsb harganya terlalu mahal. Tiga kali lipat atau 200 % lebih tinggi.
Istri saya bilang: "Pa, harusnya tadi kita lihat-lihat dulu. Cari perbandingan harga. Baru beli!" Aku bilang: "Ya, itulah harga dari sebuah nilai tambah (added value)."
Istriku bertanya: "Maksud Papa?"
"Orang tadi, kan, sudah memberi contoh, memperagakan, dan memberi penjelasan cara menggunakan pisau tsb. Jadinya kita tahu persis cara penggunaannya. Pengetahuan itulah yg menjadikan harga pisau ini lebih mahal!" Aku menjawab untuk "menenangkan" istri yg nampak mulai kecewa.
Dari peristiwa ini saya mendapat pengalaman bahwa strategy pemasaran (marketing strategy) yg berbeda akan memberikan hasil yg berbeda. Bisa saja kemudian konsumen kecewa karena merasa "tertipu", tetapi bisa juga tidak karena merasa mendapatkan nilai tambah (added value).
Selain itu, saya juga menilai bahwa Si Penjual Pisau yang melakukan strategy pemasaran (marketing strategy) yang berbeda dengan cara memberi nilai tambah (added value) ini cukup cerdas mencari peluang bisnis. Sehingga dia bisa mendapat hasil yg lumayan dari penjualan produk China ini. Siapa tahu kalau kemungkinan dia ternyata mengambil barang dari Si Penjual Rp.10.000,- dapat tiga tadi? Hebat, kan?
No comments:
Post a Comment